Wednesday, August 14, 2013

Dentuman Suara " Meriam Karbit " Khas Aceh

Beude karbet (meriam karbit) mengunakan karbit atau kalsium karbida (senyawa kimia, CaC2) sebagai pemicu untuk menghasilkan suara dentuman. Beude karbet kerap dimainkan oleh orang-orang dewasa di gampong (kampung). Namun dalam perkembanganya, dibeberapa tempat, sebagian pemuda tidak lagi memakai uram trieng sebagai wadah meledakkan karbit, melainkan sudah diganti dengan pipa besi atau drum aspal yang dimodifikasi.

Tujuanya adalah untuk mendapatkan efek suara yang lebih dahsyah. Mereka menanam wadah-wadah tersebut didalam tanah dan ketika karbit diledakkan, maka efeknya seperti sedang terjadi gempa 3-4 SR. Efek suara yang ditimbulkan bisa bermil-mil jauhnya, dan getaranya bisa membuat kaca jendela pecah.

Mungkin karena efek yang ditimbulkan dari karbit inilah yang membuat warga merasa terganggu, suara dentuman beude karbet bisa terdengar hampir kesegala gampong atau mukim.

Permainan beude karbet sebetulnya harus mengeluarkan banyak modal. Ini dikarenakan karbit (pemicu suara) harus dibeli perkiloan dengan harga tidak murah. Namun karena mainan ini hanya dioperasikan sekali dalam setahun, yaitu selama/paska bulan ramadhan, harga karbit yang mahal bukanlah soal bagi pemuda gampong. Untuk menyiasatinya, pemuda gampong biasanya meurepee (kongsi) uang sehingga harga mahal tadi pun tidak terlalu terasa berat. Dengan demikian agenda menghidupkan beude karbet siap dilakukan. Pekerjaan selanjutnya lebih gampang, cukup mencari 2 meter uram trieng atau drum aspal yang dimodifikasi.

Bagi yang maniak karbit kelas berat, mereka akan mencari rongsokan drum aspal (peulaken) atau pipa-pipa besi tertentu untuk dijadikan wadah karbit. Cara ini sedikit sulit karena harus mengelasnya di bengkel untuk menghasilkan sebuah meriam yang sempurna, namun efek suaranya lebih dahsyat ketimbang memakai bambu.

Suara yang dihasilkan meriam karbit ini memang terbilang raksasa. Layaknya mirip suara yang dihasilkan meriam benaran, maka tidaklah heran suasana selama ramadhan atau saat takbiran lebaran, suasana di gampong-gampong seperti ajang perang saja. Apalagi pemuda-pemuda gampong tetangga juga ikut-ikutan melakukan tradisi ini. Maka ‘perang’ meriam pun tidak terhindarkan dan menjadi ajang saling ‘serang menyerang’ hingga pagi hari.

Pada masa konflik yang mendera Aceh, baik beude trieng maupun karbet adalah barang langka yang sulit dioperasikan. Ketakutan dan trauma menjadi alasan utama kedua beude ini enyah dari gampong. Bagi yang nekat, maka akibatnya mudah ditebak; dipermak dan selanjutnya digelandang ke pos-pos aparat terdekat dan dikenai pasal mengganggu stabilitas temperatur keamanan.

Makanya selama konflik kedua beude ini seperti hilang ditelan bumi, dan para pemuda -- boro-boro membunyikan meriam ini-- malah lebih memilih hengkang keluar daerah untuk mencari selamat. Barangkali aparat kemanan juga paling benci dengan suara dentuman yang dihasilkan dari meriam bambu ini dan mengira sedang ada serangan mendadak dari bazooka gerilyawan.

No comments:

Post a Comment